Dasar Dasar Ilmu Politik

DRAFT MAKALAH
MAHKAMAH KONSTITUSI


Disusun Oleh

Bonaventura Dedy A.S            11417141022


ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Selama ini masyarakat mengetahui bahwa keputusan tertinggi yang ada dalam tata hukum Indonesia adalah MPR, dan presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi di bawah MPR. Presiden selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR. Tetapi jika ditelaah lebih jauh, sebenarnya keputusan tertinggi berasal dari Mahkamah Konstitusi karena lembaga ini merupakan lembaga tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Dan seharusnya, presidenpun harus tunduk terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi. Terbukti saat polemik tentang masa jabatan Jaksa Agung, hendrawan Supanji yang seharusnya berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan SBY pada periode pertama, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Jaksa Agung memang sudah harus berhenti, dan tidak lama kemudian SBY secara resmi mengeluarkan Keppres pada tanggal 24 September 2010 tentang Pemberhentian Secara Terhormat Jaksa Agung, Hendarman Supanji. Hal ini membuktikan bahwa Presiden mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi.

Tetapi apakah selamanya Presiden mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi? Seperti contoh kasus pada saat Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk meniadakan UN yang dilaksanakan pada jenjang sekolah, Presiden tetap mengadakan UN. Jika memang Mahkamah Konstitusi adalah pemegang putusan tertinggi, seharusnya UN tidak dilaksanakan, tetapi karena Presiden tetap mengeluarkan putusan untuk diadakannya UN, maka UN tetap terlaksana. Mengapa hal ini terjadi? Bukankah seharusnya Presiden mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi yang jelas-jelas meniadakan UN?

Hal tersebut membuat sebagian masyarakat yang tidak begitu paham masalah hukum atau bisa disebut awam dalam hukum tentang siapa pemegang putusan tertinggi tata hukum di Indonesia. Jika memang putusan tertinggi dalam tata hukum Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi, maka mengapa Presiden tidak selalu tunduk dengan Mahkamah Konstitusi? dan bagaimanakah sebenarnya letak kedudukan Mahkamah Konstitusi? Maka dari itu kami menyusun sebuah makalah dengan judul “Letak Kedudukan Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Tata Hukum di Indonesia”. Makalah ini dibuat agar masyarakat yang masih ‘awam’ hukum  mengetahui secara jelas bagaimana sebenarnya letak kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi dalam tata hukum kenegaraan di Indonesia

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi?
2.    Bagaimana posisi atau kedudukan keputusan Mahkamah Konstitusi dalam tata hukum di Indonesia?
3.    Bagaimana Mahkamah Konstitusi mensosialisasikan peran dan fungsinya kepada masyarakat?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kajian Teori
Untuk memahami pengertian lembaga atau organ negara secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the State Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”, artinya siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ.
Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan organ negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata dalam pengertian yang luas ini organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials).
Lembaga hukum adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengatur segala tindakan yang menimbulkan akibat hukum.

B.    Profil Mahkamah Konstitusi
Masa Pembentukan Dasar Hukum
Untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi , Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Ditilik dari aspek waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi menjadi hari lahir MKRI.
Masa Penetapan Hakim Konstitusi
Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen hakim konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA. Setalah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga tersebut, masing-masing lembaga mengajukan tiga calon hakim konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi.
DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H., MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H.
Pada 15 Agustus 2003, pengangkatan hakim konstitusi untuk pertama kalinya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003. Setelah mengucapkan sumpah, para hakim konstitusi langsung bekerja menunaikan tugas konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Masa Pemantapan Kelembagaan
Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan hal itu, untuk pertama kalinya dukungan administrasi umum dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal MPR, sejumlah pegawai memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas konstitusional para hakim konstitusi. Sebagai salah satu wujudnya adalah Kepala Biro Majelis MPR, Janedjri M. Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretris Jenderal MK sejak tanggal 16 Agustsus 2003 hingga 31 Desember 2003. Kemudian pada 2 Januari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Anak Agung Oka Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK definitif. Dalam perkembangganya, Oka Mahendra mengundurkan diri karena sakit, dan pada 19 Agustus 2004 terpilih Janedjri M. Gaffar sebagai Sekretaris Jenderal MK yang baru menggantikan Oka Mahendra.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban tugas membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang administrasi yustisial. Panitera bertanggungjawab dalam menangani hal-hal seperti pendaftaran permohonan dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan permohonan, pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, hingga mempersiapkan dan membantu pelaksanaan persidangan MK. Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Panitera mendampingi Plt. Sekjen MK adalah Marcel Buchari, S.H. yang di kemudian hari secara definitif digantikan oleh Drs. H, Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Lintasan perjalan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mulai beroperasinya kegiatan MK juga menandari berakhirnya kewenangan MA dalam melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945.
Setelah bekerja penuh selama lima tahun, halim konstitusi periode pertama (2003-2008) telah memutus 205 perkara dari keseluruhan 207 perkara yang masuk. Perkara-perkara tersebut meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang (PUU), 10 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan 45 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Periode pertama hakim konstitusi berakhir pada 16 Agustus 2008. Dalam perjalanan sebelum akhir periode tersebut tiga hakim konstitusi berhenti karena telah memasuki usia pensiun (berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK, usia pensiun hakim konstitusi adalah 67 tahun), yakni Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H., Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. yang posisinya diganti oleh DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum. dan Soedarsono, S.H. yang kedudukannya diganti oleh DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Tiga nama yang baru menggantikan tersebut sekaligus meneruskan jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua (2008-2013).
Di periode kedua ini, enam hakim konstitusi lainnya terpilih Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk yang kedua kali), Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H. dan Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. yang diajukan Presiden. Kemudian Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. (untuk yang kedua kali) dan Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diajukan DPR. Sementara MA mengajukan kembali Maruarar Siahaan, S.H. yang sebelumnya telah menjadi hakim konstitusi periode pertama. Dengan demikian di periode kedua MK terdapat tina nama lama dan enam nama baru. Akan tetapi dalam perkembangannya, Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi yang berlaku efektif mulai tanggal 1 November 2008 dan digantikan oleh DR. Harjono, S.H., MCL. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 24 Mare 2009, sedangkan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mulai 1 Januari 2010 memasuki usia pensiun dan digantikan oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 7 Januari 2010. Formasi sembilan hakim konstitusi inilah yang sekarang menjalankan tugas-tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi.
Setelah sembilan Hakim Konstitusi mengucapkan sumpah di Istana Negara pada 16 Agustus 2003, belum ada aparatur yang ditugaskan memberikan pelayanan dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas para Hakim Konstitusi. Demikian pula belum ada kantor sebagai tempat bekerja para Hakim Konstitusi. Pada saat itu, alamat surat menyurat menggunakan nomor telepon seluler Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Masa Pemenuhan Sarana dan Prasarana
Keterbatasan sarana dan kurangnya dukungan teknis bagi pelaksanaan tugas-tugas Hakim Konstitusi merupakan persoalan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan dengan segera. Setelag melalui pembahasan di kalangan Hakim Konstitusi, akhirnya diputuskan dua hal. Pertama, meminta bantuan tenaga dari Sekretariat Jenderal MPR untuk memberikan dukungan administrasi umum dan MA untuk tenaga administrasi justisial. Kedua, menyewa ruangan di Hotel Santika yang terletak di Jalan KS. Tubun, Slipi, Jakarta Barat, untuk dijadikan kantor sementara. Tidak lama kemudian, MK berpindah kantor dengan menyewa ruangan di gedung Plaza Centris di Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, tepatnya di lantai 4 dan lantai 12A. Namun demikian, ruangan yang tersedia bagi MK di Plaza Centris masih jauh dari memadai. Karena keterbatasan ruang tersebut, para pegawai MK berkantor di lahan parkir kendaraan yang disulap menjadi ruang kantor modern. Seiring dengan itu, Ketua MK mengangkat Janedjri M. Gaffar sebagai Plt. Sekjen pada tanggal 4 September 2003 dan pada 1 Oktober 2003 menangkan Marcel Buchari, S.H. sebagai Plt. Panitera.
Meskipun sudah memiliki kantor, keterbatasan saran masih menjadi persoalan bagi MK. Selama berkantor di Hotel Santika dan Plaza Centris, MK harus meminjam Gedung Nusantara IV (Pusaka Loka) Kompleks MPR/DPR, salah satu ruang di Mabes Polri dan salah satu ruang di Kantor RRI sebagai ruang sidang karena belum memiliki ruang sidang yang representatif. Hal ini tentu saja menjadi hambatan bagi mobilitas kerja para Hakim Konstitusi sekaligus ironi bagi lembaga negara sekaliber MK yang mengawal konstitusi sebagai hukum tertinggi di negeri ini. Karena itu, ketika merumuskan Cerak Biru "Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya", gagasan pembangunan gedung MK mendapat penekanan tersendiri.
Setelah menempati gedung di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat milik Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada tahun 2004, barulah MK bisa menggelar persidangan di kantor sendiri. Meski demikian, ruangan dan fasilitas yang tersedia di gedung tersebut masih belum memadai, terutama ketika MK harus menangani perkara yang menumpuk dan membutuhkan peralatan-peralatan canggih sebagaimana terjadi pada Pemilu 2004. Ketika melakukan pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilihan umum Legislatif 2004, ruang persidangan yang ada di gedung MK tidak mencukupi sehingga MK meminjam ruang di gedung RRI yang terletak tidak jauh dari kantor MK. Begitu juha ketika harus menggelar persidangan jarak jauh, MK harus meminjam ruang dan fasilitas teleconference.





Kewajiban dan wewenang
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah: Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Ketua
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).
Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan Wakil Ketua Prof. Dr. M. Laica Maerzuki, SH. Bersama tujuh anggota hakim pendiri lainnya dari generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dan Prof. Dr. M. Laica Marzuki berhasil memimpin lembaga baru ini sehingga dengan cepat berkembang menjadi model bagi pengadilan modern dan terpercaya di Indonesia. Di akhir masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai salah satu ikon keberhasilan reformasi Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada bulan Agustus 2009, Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada para hakim generasi pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera Adipradana bagi mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie.
Selama 5 tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk dengan sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil dibangun dengan megah dan oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan tempat mengadakan studi tour. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan pemilihan untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu 2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan Oktober 2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH mengunduran diri dari anggota MK dan kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas Indonesia.
Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:
1.    Mohammad Mahfud MD (Ketua)
2.    Harjono (2009-), menggantikan Jimly Asshiddiqie (2008-2009)
3.    Maria Farida Indrati
4.    Ahmad Fadlil Sumadi (2009-), menggantikan Maruarar Siahaan (2008-2009)
5.    Hamdan Zoelva (2009-), menggantikan Abdul Mukthie Fajar (2008-2009)
6.    Muhammad Alim
7.    Achmad Sodiki
8.    Muhammad Arsyad Sanusi
9.    Muhammad Akil Mochtar
Pada akhir 2009, Maruarar Siahaan dan Abdul Mukthie Fajar memasuki masa pensiun. Mereka kemudian digantikan oleh 2 hakim baru, yakni Hamdan Zoelva yang menggantikan Abdul Mukthie Fajar dan Fadlil Sumadi yang menggantikan Maruarar Siahaan.
Daftar Hakim Konstitusi
Berikut adalah nama-nama yang pernah menduduki jabatan hakim konstitusi :
•    Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.
•    Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H.
•    I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.
•    Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M.
•    Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.
•    DR. Harjono, S.H., MCL.
•    Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H.
•    Soedarsono, S.H.
•    Maruarar Siahaan, S.H.
•    Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H.
•    DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum.
•    DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum.
•    Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H.
•    Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H.
•    Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H.
•    DR. Harjono, S.H., MCL.
•    DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H.
•    Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Susunan Organisasi
Sekretariat Jenderal
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas melaksanakan dukungan administrasi umum kepada para hakim konstitusi. Sekretaris Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan di bawahnya terdapat empar biro dan satu pusat, yaitu :
•    Biro Perencanaan dan Keuangan
o    Bagian Perencanaan
    Subbagian Program dan Anggaran
    Subbagian Evaluasi dan Laporan
o    Bagian Keuangan
    Subbagian Kas
    Subbagian Akuntansi dan Verifikasi
•    Biro Umum
o    Bagian Tata Usaha
    Subbagian Persuratan
    Subbagian Arsip dan Dokumentasi
o    Bagian Kepegawaian
    Subbagian Tata Usaha
    Subbagian Pembinaan dan Pengembangan Pegawai
o    Bagian Perlengkapan
    Subbagian Pengadaan, Penyimpanan dan Inventarisasi
    Subbagian Rumah Tangga
•    Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol
o    Bagian Hubungan Masyarakat
    Subbagian Hubungan Antar Lembaga dan Masyarakat
    Subbagian Media Massa
o    Bagian Protokol dan Tata Usaha Pimpinan
    Subbagian Protokol
    Subbagian Tata Usaha Pimpinan
•    Biro Administrasi Perkara dan Persidangan
o    Bagian Administrasi Perkara
    Subbagian Registrasi
    Subbagian Penyusunan Kaidah Hukum dan Dokumentasi Perkara
o    Bagian Persidangan
    Subbagian Pelayanan Persidangan
    Subbagian Pemanggilan
o    Bagian Pelayanan Risalah dan Putusan Perkara
    Subbagian Pelayanan Risalah dan Pelayanan Putusan
•    Pusat Penelitian dan Pengkajian


Kepaniteraan
Kepaniteraan MK memiliki tugas pokok memberikan dukungan di bidang administrasi justisial. Susunan organisasi kepaniteraan MK terdiri dari sejumlah jabatan fungsional Panitera. Kepaniteraan merupakan supporting unit hakim konstitusi dalam penanganan perkara di MK.
Sidang Panel
Sidang Panel merupakan sidang yang terdiri dari tiga orang hakim konstitusi yang diberi tugas untuk melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan. Persidangan ini diselenggarakan untuk memeriksa kedudukan hukum pemohon dan isi permohonan. Hakim konstitusi dapat memberi nasihat perbaikan permohonan.
Rapat Permusyawaratan Hakim
Rapat Permusyawaratan Hakim (disingkat RPH) bersipat tertutup dan rahasia. Rapat ini hanya dapat diikuti oleh Hakim konstitusi dan Panitera. Dalam rapat inilah perkara dibahas secara mendalam dan rinci serta putusan MK diambil yang harus dihadiri sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi. Pada saat RPH, Panitera mencatat dan merekam setiap pokok bahasan dan kesimpulan.
Sidang Pleno
Sidang Pleno adalah sidang yang dilakukan oleh majelis hakim konstitusi minimal dihadiri oleh tujuh hakim konstitusi. Persidangan ini dilakukan terbuka untuk umum dengan agenda pemeriksaan persidangan atau pembacaan putusan. Pemeriksaan persidangan meliputi mendengarkan pemohon, keterangan saksi, ahli dan pihak terkait serta memeriksa alat-alat bukti.
Anggaran
Sebagai lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman, pelaksanaan tugas-tugas MK berikut aktivitas dukungan yang diberikan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK dibiayai oleh Anggaaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dalam setiap tahunnya, MK mendapat anggaran berdasarkan Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). BPK memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan MK tahun anggaran 2006. Kemudian pada laporan keuangan tahun 2007, 2008 dan 2009 MK kembali meraih predikat WTP berturut-turut dari BPK.
Visi Mahkamah Konstitusi

Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan daan kenegaraan yang bermartabat

Misi Mahkamah konstitusi

A.    Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya.
B.    Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstiusi

Sumpah Hakim

Sesuai pasal 21 Undang-undang No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut:
     1.    Sumpah hakim konstitusi:
" Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."

     2.    Janji hakim konstitusi:
" Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."

Pengucapan sumpah atau janji tersebut dilakukan di hadapan Presiden.
Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut:

     1.    Sumpah Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
" Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."

     2.    Janji Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
" Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."


C.    Deskripsi Data
1.    Peran dan fungsi MK dapat dilihat dari kewenangan konstitusional MK sebagaimana tertuang dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang isinya sebagai berikut:
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
a)    Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b)    Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
c)    Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:
a.    pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.    pembubaran partai politik;
d.    perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e.    pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.  Posisi putusan MK dalam tata hukum setingkat dengan UU karena putusan MK itu final dan mengikat bagi semua pihak, baik masyarakat maupun penyelenggara negara.
3. MK punya misi untuk membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi. MK bekerjasama dengan elemen-elemen masyarakat menyelenggarakan program peningkatan kesadaran berkonstitusi, baik diselenggarakan di Jakarta maupun di daerah.


D.    Pembahasan / Analisis
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga hukum tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Posisi keputusan Mahkamah Konstitusi dalam tata hukum Indonesia adalah menempati urutan tertinggi. Semua warga negara tanpa terkecuali harus menjunjung hukum dan putusan pengadilan, termasuk rakyat biasa ataupun Presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi dapat disejajarkan dengan produk UU. Dengan demikian dalam hierarki perundang-undangan Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding dengan Keputusan Presiden.
Tugas Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum, dan memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Posisi putusan Mahkamah Konstitusi dalam tata hukum setingkat dengan UU karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat final dan mengikat bagi semua pihak, baik masyarakat maupun penyelenggara negara. Jadi semua pihak harus melaksanakan semua putusan dari Mahkamah Konstitusi tanpa terkecuali.
Untuk kasus-kasus sebelumnya seperti pelaksanaan Ujian Akhir Nasional yang sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi  untuk ditiadakan tetapi pada kenyataannya tetap saja dilaksanakan, menurut ketua Mahkamah Konstitusi, Bapak Mahfud MD  itu dikarenakan di negara-negara lain, vonis pengadilan itu langsung diikuti tanpa diributkan. Kalau di negara Indonesia vonis sering diperdebatkan dan dipolitisasi sehingga hakim perlu menjelaskannya. Tak ada UU atau kode etik yang melarang hakim memberikan penjelasan. Yang dilarang adalah membicarakan rencana putusan dengan orang luar, memperdebatkan benar atau salahnya substansi putusan, dan menerima suap. Banyak vonis Mahkamah Konstitusi yang dipertentangkan, padahal isinya sudah jelas. Masuknya perkara ke Mahkamah Konstitusi itu karena ada konflik dan Mahkamah Konstitusi memutus untuk menyelesaikan konflik itu.
Sementara itu untuk kasus masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji, sudah terbukti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dalam tata hukum Indonesia adalah bersifat final dan mengikat bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk presiden. Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menilai langkah Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden yang memberhentikan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung merupakan langkah yang tepat dan sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi. Mahfud mengatakan, langkah pemberhentian itu sudah tepat lantaran kedudukan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung masih sah hingga keputusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan, yakni pada 22 September pukul 14.35. Karena pada kasus tersebut terbukti presiden langsung menindak lanjuti putusan atau melaksanakan putusan dari Mahkamah Konstitusi. Yaitu presiden memberhentikan Jaksa Agung Hendarman Supanji. Setelah dikeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi, berarti saat ini ada cara-cara tertentu terkait masa jabatan Jaksa Agung. Sebelum dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, tidak ada keharusan Jaksa Agung untuk ikut kabinet karena tidak adanya bunyi di dalam undang-undang tersebut yang mengharuskan itu. Karena itulah posisi Hendarman Supandji 100 persen sah sebagai Jaksa Agung hingga 22 September 2010.
Mahkamah Konstitusi punya misi untuk membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi. Untuk sosialisasi Mahkmah Konstitusi terhadap masyarakat, Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan elemen-elemen masyarakat menyelenggarakan program peningkatan kesadaran berkonstitusi, baik diselenggarakan di Jakarta maupun di daerah.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kita dapat mengetahui bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memegang kekuasaan kehakiman bersama-sama Mahkamah Agung. Tugas Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum, dan memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Sementara itu, putusan Mahkamah Konstitusi dalam tata hukum adalah setingkat dengan UU karena putusan Mahkamah Konstitusi itu final dan mengikat bagi semua pihak, baik masyarakat maupun penyelenggara negara. Itu berarti putusan MK meiliki derajat yang lebih tinggi daripada Kepres dalam hierarki perundang-undangan Indonesia. Namun, pada kenyataannya putusan MK yang merupakan putusan final dan tertinggi masih sering diperdebatkan atau dipolitisasi oleh beberapa pihak.

B.    Saran
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan bukan untuk diperdebatkan atau dipolitisasi. Sebagai warga negara yang baik, kita seharusnya mematuhi dan melaksanakan putusan tersebut dengan baik dan benar dan sesuai dengan UU yang berlaku. Agar tercipta suasana yang kondusif unutk negara kita.






DAFTAR PUSTAKA

1.    http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/eng/public/javascripts/player/index.php?page=website.Publikasi.Makalah&id=1&aw=1&ak=11
2.    www.mhafudmd.com
3.    http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Konstitusi_Indonesia
4.    C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern-Kajian tentang Sejaranh dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusa Media, Bandung, 2004

5.    Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran kekuasaan Indonesia, MKRI dan PSHTN FH UII, Jakarta, 2005

6.    Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006

7.    Model-Model Pengujian Konstitusional di Beberapa Negara, Konpress, 2005.

8.    Leonard W Levy (Editor), Judicial Review, Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Cetakan Pertama, Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusa Media, Bandung. 2005.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar